Selasa, 09 Desember 2008

LALALALA....

HARI YANG CERAH UNTUK JIWA YANG SEPI...

akooo lagi menggila...

sangadd bahagia,,,

karena akhirnya saiiiya dapat menyelsaikan tugas komputer yang sudah diberikan oleh pak heruuu...

hehehe...

meskipun sangat minimalll...yang pasti saiiya sudah berusahaa semampu saiyyya...

hehehe...

lalalalala,....

espresso berjaya selaluuu...

Laft,
Mu^e,,diott

Pandawa Lima....(hahaha,....aku suka ini...)

Panca Pandawa

Yudistira merupakan saudara para Pandawa yang paling tua. Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Yama dan lahir dari Kunti. Sifatnya sangat bijaksana, tidak memiliki musuh, dan hampir tak pernah berdusta seumur hidupnya. Memiliki moral yang sangat tinggi dan suka mema’afkan serta suka mengampuni musuh yang sudah menyerah. Memiliki julukan Dhramasuta (putera Dharma), Ajathasatru (yang tidak memiliki musuh), dan Bhārata (keturunan Maharaja Bharata). Ia menjadi seorang Maharaja dunia setelah perang akbar di Kurukshetra berakhir dan mengadakan upacara Aswamedha demi menyatukan kerajaan-kerajaan India Kuno agar berada di bawah pengaruhnya. Setelah pensiun, ia melakukan perjalanan suci ke gunung Himalaya bersama dengan saudara-saudaranya yang lain sebagai tujuan akhir kehidupan mereka. Setelah menempuh perjalanan panjang, ia mendapatkan surga. Memiliki nama lain Puntadewa.

Yudistira

Bima merupakan putera kedua Kunti dengan Pandu. Nama bhimā dalam bahasa Sansekerta memiliki arti "mengerikan". Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Bayu sehingga memiliki nama julukan Bayusutha. Bima sangat kuat, lengannya panjang, tubuhnya tinggi, dan berwajah paling sangar di antara saudara-saudaranya. Meskipun demikian, ia memiliki hati yang baik. Pandai memainkan senjata gada senjata gadanya bernama Rujapala dan pandai memasak. Bima juga gemar makan sehingga dijuluki Werkodara. Kemahirannya dalam berperang sangat dibutuhkan oleh para Pandawa agar mereka mampu memperoleh kemenangan dalam pertempuran akbar di Kurukshetra. Ia memiliki seorang putera dari ras rakshasa bernama Gatotkaca, turut serta membantu ayahnya berperang, namun gugur. Akhirnya Bima memenangkan peperangan dan menyerahkan tahta kepada kakaknya, Yudistira. Menjelang akhir hidupnya, ia melakukan perjalanan suci bersama para Pandawa ke gunung Himalaya. Di sana ia meninggal dan mendapatkan surga. Memilki nama lain Brantasena, dua putra yang lain selain Gatotkaca ialah Antareja dan Antasena.

Bima

Arjuna merupakan putera bungsu Kunti dengan Pandu. Namanya (dalam bahasa Sansekerta) memiliki arti "yang bersinar", "yang bercahaya". Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Indra, Sang Dewa perang. Arjuna memiliki kemahiran dalam ilmu memanah dan dianggap sebagai ksatria terbaik oleh Drona. Kemahirannnya dalam ilmu peperangan menjadikannya sebagai tumpuan para Pandawa agar mampu memperoleh kemenangan saat pertempuran akbar di Kurukshetra. Arjuna memiliki banyak nama panggilan, seperti misalnya Dhananjaya (perebut kekayaan – karena ia berhasil mengumpulkan upeti saat upacara Rajasuya yang diselenggarakan Yudistira); Kirti (yang bermahkota indah – karena ia diberi mahkota indah oleh Dewa Indra saat berada di surga); Partha (putera Kunti – karena ia merupakan putera Pritha alias Kunti). Dalam pertempuran di Kurukshetra, ia berhasil memperoleh kemenangan dan Yudistira diangkat menjadi raja. Setelah Yudistira mangkat, ia melakukan perjalanan suci ke gunung Himalaya bersama para Pandawa dan melepaskan segala kehidupan duniawai. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan mencapai surga. Nama lain Janaka, senjata utama ialah panah Pasopati.

Arjuna

Nakula merupakan salah satu putera kembar pasangan Madri dan Pandu. Ia merupakan penjelmaan Dewa kembar bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya bernama Sadewa, yang lebih kecil darinya, dan merupakan penjelmaan Dewa Aswin juga. Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia bersama adiknya diasuh oleh Kunti, istri Pandu yang lain. Nakula pandai memainkan senjata pedang. Dropadi berkata bahwa Nakula merupakan pria yang paling tampan di dunia dan merupakan seorang ksatria berpedang yang tangguh. Ia giat bekerja dan senang melayani kakak-kakaknya. Dalam masa pengasingan di hutan, Nakula dan tiga Pandawa yang lainnya sempat meninggal karena minum racun, namun ia hidup kembali atas permohonan Yudistira. Dalam penyamaran di Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Raja Wirata, ia berperan sebagai pengasuh kuda. Menjelang akhir hidupnya, ia mengikuti pejalanan suci ke gunung Himalaya bersama kakak-kakaknya. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan arwahnya mencapai surga.

Nakula

Sadewa merupakan salah satu putera kembar pasangan Madri dan Pandu. Ia merupakan penjelmaan Dewa kembar bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya bernama Nakula, yang lebih besar darinya, dan merupakan penjelmaan Dewa Aswin juga. Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia bersama kakaknya diasuh oleh Kunti, istri Pandu yang lain. Sadewa adalah orang yang sangat rajin dan bijaksana. Sadewa juga merupakan seseorang yang ahli dalam ilmu astronomi. Yudistira pernah berkata bahwa Sadewa merupakan pria yang bijaksana, setara dengan Brihaspati, guru para Dewa. Ia giat bekerja dan senang melayani kakak-kakaknya. Dalam penyamaran di Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Raja Wirata, ia berperan sebagai pengembala sapi. Menjelang akhir hidupnya, ia mengikuti pejalanan suci ke gunung Himalaya bersama kakak-kakaknya. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan arwahnya mencapai surga.

Dewi Ratih.,..(ini mungkin baru yang bner....???!)

Kamajaya dan Dewi Ratih
Batara Kamajaya adalah salah satu di antara banyak dewa dalam agama Hindu maupun dalam ceritera wayang purwa. Ia terkenal tampan (cakap), berbudi luhur, jujur, berhati lembut dan kasih sayang kepada isteri. Isterinya bernama Dewi Ratih tidak kalah terkenal karena cantiknya dan seluruh laku, watak dan budinya sama dengan suaminya. Pasangan suami isteri dewa itu amat rukun dan masing-masing selalu menjaga kesetiaannya lahir batin dan sehidup semati.

Dalam kehidupan khususnya masyarakat Jawa, kerukunan pasangan Batara Kamajaya dan Dewi Ratih merupakan idola. Setiap upacara pengantin Jawa, selalu diharapkan agar pasangan itu hidup rukun, damai dan saling setia seperti pasangan Kamajaya dan Dewi Ratih. Apabila di kemudian hari pengantin itu dikaruniai putera agar berwajah tampan seperti Batara Kamajaya dan apabila puteri agar berwajah cantik seperti Dewi Ratih, sama halnya seperti orang Islam mengharapkan berputera tampan seperti Nabi Yusuf dan berputeri cantik seperti Zulaiha.

Salah satu karya sastra lama yang menceriterakan kisah cinta Batara Kamajaya dan Dewi Ratih ialah buku Smaradahana. Penulis buku Smaradahana adalah Empu Dharmaja yang hidup pada jaman kerajaan Kediri. Dalam buku itu dikisahkan terbakarnya Batara Kamajaya (smara = asmara; dahana = api). Penyebab terbakarnya Batara Kamajaya adalah Dewa Siwa (Batara Guru).

Ada pendapat, bahwa isi buku Smaradahana merupakan gambar kisah cinta putera Kerajaan Daha (sebelum bernama Kediri) dengan puteri Kerajaan jenggala. Putera Kerajaan Daha bernama Hinu Kertapati dan puteri Kerajaan Jenggala bernama Candra Kairana. Masyarakat Kerajaan Daha pada waktu itu percaya bahwa Hinu Kertapati adalah penjelmaan (titisan) Bhatara Kamajaya, sedang Candra Kairana penjelmaan Dewi Ratih. Maka nama buku Smaradahana merupakan sindiran “Kisah cinta di Kerajaan Daha”.

Banyak ahli sastra Belanda yang melakukan penelitian buku Smaradahana itu dan dimuat pada Bibliothica Javanica dalam bahasa Belanda disimpan di Perpustakaan Nasional. Buku Smaradahana yang asli ditulis dengan tulisan dan bahasa Jawa Kuno dalam bentuk tembang (puisi). Prof. Dr. R.M.Ng. Porbatjaraka telah melakukan ulasan cukup baik yang dimuat dalam bukunya Kapustakaan Djawi, dengan tulisan latin bahasa Jawa halus diterbitkan oleh Penerbit Djambatan, untuk cetakan pertama tahun 1952. Ringkasan isi buku Smaradahana sebagai berikut:

Pada suatu musyawarah para Dewa diketahui, bahwa Suralaya (Kahyangan) akan diserbu oleh bala tentara raksasa. Serangan itu akan dipimpin oleh Raja Nilarudraka. Semua dewa merasa tidak mampu menghadapi kesaktian Raja Nilarudraka. Seluruh dewa merasa panik bagaimana cara mengatasi bahaya itu. Kebetulan pada waktu itu Dewa Siwa atau Batara Guru (Raja pra Dewa) baru bertapa. Kemudian para dewa mengadakan musyawarah. Keputusan musyawarah menunjuk Batara Kamajaya untuk membangunkan Batara Guru dari tapanya. Berangkatlah Batara Kamajaya ke pertapaan Batara Guru.

Sesampai di pertapaan, Batara Kamajaya tidak berani mendekat. Batara Guru yang sedang bersamadi. Dicarilah akal untuk membangungkan Batara Guru dari tapa. Kemudian Batara Kamajaya melepaskan panah bunga berkali-kali tetapi tidak membawa hasil. Panah bunga yaitu kekuatan tenaga dalam (batin) dari seseorang ditujukan kepada orang lain agar tercium harumnya suatu bunga. Batara Kamajaya tidak putus asa. Kemudian dilepaskan panah “panca wisaya” ditujukan kepada Batara Guru (panca = lima; wisaya = rindu). “Panca Wisaya” itu berupa rindu pada suara merdu, rindu pada rasa enak, rindu pada belaian kasih sayang dan rindu pada bau yang harum. Seketika itu Batara Guru timbul rasa rindu kepada dewi uma permaisurinya. Setelah bangun dari tapanya, ternyata yang ditatap didepannya adalah Batara Kamajaya. Timbul marahnya yang tak terhingga. Batara Kamajaya dipandang memakai mata ketiga yang berada di dahinya. Pandangan itu memancarkan api yang menyala-nyala. Maka terbakarlah Batara Kamajaya dan mati seketika itu. Kemudian Batara Guru kembali ke Kahyangan.

Dewi Ratih sangat berduka cita mendengar berita suaminya mati terbakar. Ia bermaksud “mati obong” (membakar diri) bersama suaminya sebagai rasa cinta kasih. Kemudian Dewi Ratih menyusul ke tempat suaminya mati terbakar. Sesampainya Dewi Ratih di tempat suaminya terbakar, maka atas kehendak Batara Guru api menyala kembali lebih besar. Lambaian nyapa api itu tampak bagaikan lambaian tangan Batara Kamajaya memanggil Dewi Ratih agar mendekatnya. Maka Dewi Ratih tanpa ragu sedikitpun lalu terjun ke dalam nyala api. Demikianlah Dewi Ratih telah menyatu dengan suaminya.

Mengetahui kejadian itu seluruh dewa berduka cita. Mereka sadar bahwa kematian Batara Kamajaya karena keputusan sidang para dewa untuk mengatasi bahaya yang mengancam Kahyangan. Oleh karena itu para Dewa berusaha memohonkan ampun atas kesalahan yang diperbuat oleh Batara Kamajaya. Selain itu para dewa memohon agar Batara Guru berkenan menghidupkan lagi Batara Kamajaya dan Dewi Ratih. Akan tetapi Batara Guru tidak dapat mengabulkan permohonan itu, karena mempunyai pandangan yang lebih jauh. Batara Guru menghendaki keturuanan atau kelestarian kehidupan manusia di arcapada (dunia). Maka Batara Kamajaya diperintahkan agar tinggal pada setiap hati atau rasa orang laki-laki dan Dewi Ratih tinggal pada setiap hati atau rasa orang perempuan. Dengan demikian antara orang laki-laki dan perempuan selalu timbul rasa cinta kasih, sehingga kelangsungan hidup di dunia dapat dipertahankan.

Sekembalinya Batara Guru di Kahyangan di jemput oleh Dewi uma permaisurinya. Pasangan Dewa itu saling melepaskan rindu karena cukup lama tak jumpa. Tak berapa lama berselang dengan kembalinya Batara Guru ke Kahyangan, lalu Dewi Uma hamil.

Pada saat Dewi Uma hamil muda, para Dewa datang menghadap untuk menghormati kembalinya Batara Guru dari bertapa. Kedatangan para dewa membawa hewan tungganggan masing-masing. Saah satu dewa itu adalah Batara Indra menunggang gajah yang terkenal besarnya. Pada waktu itu Batara Guru baru duduk di dampingi Dewi Uma, permaisurinya. Melihat kedatangan Batara Indra menunggang gajah yang besar itu, Dewi Uma sangat terkejut, takut dan menjerit-jerit. Batara Guru menghibur dan meredakan rasa takutnya permaisuri.

Dalam hati Batara Guru telah mengetahui apa yang akan terjadi akibat dari perasaan takut permaisuri yang sedang hamil muda itu. Maka ia berkata sudah menjadi kehendak Sang Hyang Tunggal, bahwa Dewi Uma akan melahirkan jabang bayi laki-laki berkepala gajah. Setelah sampai waktunya, benarlah Dewi Uma melahirkan bayi laki-laki berkepala gajah. Putera Dewi Uma itu diberi nama Batara Ganesa.

Tidak lama kemudian Kahyangan kedatangan bala tentara Raja Nilarudraka. Maksud kedatangan Raja Nilarudraka adalah ingin melamar bidadari Kahyangan untuk dijadikan permaisuri. Para dewa tidak dapat meluluskan lamaran itu. Sebab semua makhluk di arcapada telah diatur oleh Dewata untuk jodohnya masing-masing yaitu dewa dengan dewi (bidadari). Satria dengan puteri, pandita dengan endang, raksasa dengan raksasi dan seterusnya. Karena permintaan Raja Nilarudraka ditolak, maka terjadilah perang antara bala tentara dewa menghadapi bala tentara raksasa. Para dewa tidak mampu menghadapi serangan itu.

Batara Guru memutuskan agar Batara Ganesa yang masih kecil itu maju ke medan perang. Terjadilah perang yang semakin seru. Semua bala tentara raksasa dihadapinya dengan gigih. Anehnya setiap bala tentara raksasa dapat dibunuhnya, Batara Ganesa bertambah besar. Seluruh bala tentara raksasa dapat dibinasakan. Akhirnya Batara Ganesa perang tanding (satu lawan satu) dengan Raja Nilarudraka. Perang dahsyat adu kesaktian dan kekuatan itu sangat ramai. Dalam perang itu salah satu taring (gading) Batara Ganesa patah. Dalam perang tanding ini Raja Nilarudraka dapat dibinasakan dan dibunuh.

Karena Batara Ganesa hanya mempunyai satu taring (gading) maka diberi nama Eka Denta (eka = satu; denta = gading atau taring). Dalam agama Hindu, patung Ganesha digambarkan gemuk berperut gendut sebagai lambang dewa ilmu pengetahuan. Patung Gadesa dalam posisi duduk bersila, tangan kanan memegang patahan gading dan telapak tangan kiri telentang di atas paha kaki kiri memegang separuh batok kepala. Belalai menjulur menuju batok kepala di tangan kiri sebagai lambang tidak henti-hentinya menuntut ilmu.

Dewi Ratih...(kek nama gue ya?)

bentar...

komputer sedang errorrr...

anjrriiiittt....!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!1